by shinta dewi
A. Pengertian Ontologi
Pembahasan utama makalah ini adalah mengenai Ontologi, yang mempertanyakan hakikat “apa” yang dikaji oleh ilmu. Pertanyaan itu kemudian diuraikan lagi menjadi objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana ujud hakiki dari objek tersebut? Dan bagaimana hubungan objek tadi dengan daya tangkap manusia (hlm. 33)
Istilah “ontologi” berasal dari kata Yunani “onta” yang berarti sesuatu “yang sungguh-sungguh ada”, “kenyataan yang sesungguhnya”, dan logos” yang berarti “studi tentang”, “studi yang membahas sesuatu” . Jadi dari segi istilah ontologi berarti studi yang membahas sesuatu yang ada.
Objek material ontologi adalah yang ada, artinya segala-galanya meliputi yang ada sebagai wujud konkret dan abstrak, indrawi maupun tidak indrawi. Objek formal ontologi adalah memberikan dasar yang paling umum tiap masalah yang menyangkut manusia, dunia dan Tuhan. Titik tolak dan dasar ontologi adalah refleksi terhadap kenyataan yang paling dekat yaitu manusia sendiri dan dunianya. Dengan demikian, ontologi berarti sebagai usaha intelektual untuk mendeskripsikan sifat-sifat umum dari kenyataan; suatu usaha untuk memperoleh penjelasan yang benar tentang kenyataan; studi tentang sifat pokok kenyataan dalam aspeknya yang paling umum sejauh hal itu dapat dicapai; teori tentang sifat pokok dan struktur dari kenyataan
Objek yang dikaji oleh ilmu adalah semua objek yang empiris, yaitu objek yang bisa ditangkap oleh panca indera. Sebab bukti-bukti yang harus ditemukan adalah bukti-bukti yang empiris. Bukti empiris ini diperlukan untuk menguji bukti rasional yang telah dirumuskan dalam hipotesis.
Apakah objek yang boleh diteliti ilmu itu bebas asalkan empiris? Menurut ilmu, ia boleh meneliti apa saja ; menurut filsafat akan tergantung filsafat yang mana dan menurut agama belum tentu bebas. Jadi sebaiknya seorang ilmuwan harus mempunyai pertimbangan mengenai objek apa yang akan dia kaji.
Ilmu mempelajari objek yang berupa realitas dunia fisik. Cabang kefilsafatan yang mempelajari hakikat realitas disebut metafisika. Metafisika sendiri terdiri dari dua aspek yakni ontologi dan kosmologi.
B. Metafisika
Istilah metafisika yang berasal dari bahasa Yunani: µετά (meta) “setelah atau di balik”, φύσικα (phúsika) “hal-hal di alam” adalah cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah sumber dari suatu realitas, apakah Tuhan ada, dan sebagainya. Metafisika dapat berarti sebagai usaha untuk menyelidiki alam yang berada di luar pengalaman atau menyelidiki suatu hakikat yang berada di balik realitas. Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat, dan kemungkinan.
Metafisika berusaha menjangkau dan mengkaji apakah hakikat dari kenyataan/realitas ini sebenar-benarnya. Metafisika merupakan bagian dari filsafat Perennial yang diperuntukan untuk mengetahui adanya hakikat realitas Ilahi yang merupakan substansi dunia ini baik yang material, biologis maupun intelektual.
Metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati termasuk pemikiran ilmiah. Diibaratkan pikiran adalah roket yang meluncur ke bintang-bintang, menembus galaksi dan awan gemawan, maka metafisika adalah landasan peluncurannya. Dunia yang sepintas lalu kelihatan sangat nyata ini ternyata menimbulkan berbagai spekulasi filsafati tentang hakikatnya.
Beberapa tafsiran Metafisika:
1. Animisme
Animisme adalah kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernaturalisme, dimana manusia percaya bahwa terdapat roh-roh yang bersifat gaib yang terdapat dalam benda-benda seperti: batu, pohon dan air terjun. Animisme merupakan kepercayaan yang paling tua umurnya dalam sejaran perkembangan kebudayaan manusia dan masih di peluk oleh beberapa masyarakat di muka bumi.
2. Materialisme
Materialisme merupakan lawan dari aliran anisme. Materialisme merupakan paham yang berdasaran paham naturalisme, yang berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan yang bersifat gaib, melainkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri. Paham ini dikembangkan oleh Demokritos ( 460-370 SM ). Kaum yang mendukung paham ini adalah kaum mekanistik, mereka melihat gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia fisika semata. Adapun kaum yang menentang paham ini adalah kaum vitalistik yang berpendapat bahwa hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substansi dengan proses tersebut di atas.
3. Aliran monistik
Aliran monistik mula-mula dipakai oleh Christian Wolff , mempunyai pendapat yang tidak membedakan antara pikiran dan zat, mereka hanya berbeda dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai substansi yang sama. Ibarat zat dan energy, dalam teori relativitas Einstein, energy merupakan bentuk lain dari zat. Jadi yang membedakan robot dan manusia bagi kaum yang menganut paham monistik hanya terletak pada komponen dan struktur yang membangunnya dan sama sekali bukan terletak pada substansinya yang pada hakikatnya berbeda secara nyata. Kalau komponen dan struktur robot sudah dapat menyamai manusia, maka robot itu bisa menjadi manusia.
4. Aliran Dualistik
Terminologi dualisme ini mula-mula dipakai oleh Thomas Hyde (1700). Dalam metafisika penafsiran dualistik membedakan antara zat dan pikiran yang bagi mereka berbeda secara substantive. Filsuf yang menganut paham dualistik ini diantaranya adalah Rene Decrates (1596-1650), John Locke (1632-1714) dan George Berkeley (1685-1753). Ketiga berpendapat bahwa apa yang ditangkap oleh pikiran, termasuk penginderaan dari segenap pengalaman manusia, adalah bersifat mental. Bagi Descartes maka yang bersifat nyata adalah pikiran sebab dengan berpikirlah maka sesuatu itu lantas ada. Locke sendiri menganggap bahwa pikiran manusia pada mulanya dapat diibaratkansebuah lempeng lilin yanglicin dimana pengalaman indera lalu melekat pada lempeng tersebut. Makin lama makin banyak pengalaman indera yang terkumpul dan kombinasi dari pengalaman-pengalaman indera ini seterusnya membuahkan ide yang kian lama kian rumit. Dengan demikian pikiran dapat diibaratkan sebagi organ yang menangkap dan menyimpan pengalaman indera.
Objek metafisika menurut Aristoteles, ada dua yakni :
1. Ada sebagai yang ada; ilmu pengetahuan mengkaji yang ada itu dalam bentuk semurni-murninya, bahwa suatu benda itu sungguh-sungguh ada dalam arti kata tidak terkena perubahan, atau dapat diserapnya oleh panca indera. Metafisika disebut juga Ontologi.
2. Ada sebagai yang Illahi; keberadaan yang mutlak, yang tidak bergantung pada yang lain, yakni TUHAN (Illahi berarti yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera).
Ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menafsirkan alam ini sebagaimana adanya. Kalau memang itu tujuannya maka kita tidak bisa melepaskan diri dari masalah-masalah yang ada di dalamnya. Makin jauh kita beravontur dalam penjelajahan ilmiah masalah-masalah tersebut diatas mau tidak mau akan timbul: Apakah dalam batu-batuan yang saya pelajari di laboratorium terpendam proses kimia fisika atau bersembunyi roh yang halus? Apakah manusia yang begitu hidup, semua itu proses kimia fisika juga? Apakah pengetahuan yang saya dapatkan itu bersumber pada kesadaran mental atau hanya rangsang penginderaan belaka?
Semua permasalahan in telah menjadi bahan kajian dari ahl-ahli filsafat sejak dahulu kala. Tersedia gudang filsafat dalam menjawabnya. Kita bisa setuju dengan mereka dan kita pun bisa tidak setuju dengan mereka. Bahkan, kita pun boleh mengajukan jawaban filsafat kita.
Jadi pada dasarnya tiap ilmuan dapat boleh mempunyai filsafat individu yang berbeda-beda; dia bisa menganut paham mekanistik; dia bisa mengaut paham vitalistik; dia boleh setuju dengan Thomas Hobbes yang materialistic atau George Berkeley yang idealistik. Titik pertemuan kaum ilmuan dari semua ini adalah sifat pragmatis dari ilmu.
A. Pengertian Ontologi
Pembahasan utama makalah ini adalah mengenai Ontologi, yang mempertanyakan hakikat “apa” yang dikaji oleh ilmu. Pertanyaan itu kemudian diuraikan lagi menjadi objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana ujud hakiki dari objek tersebut? Dan bagaimana hubungan objek tadi dengan daya tangkap manusia (hlm. 33)
Istilah “ontologi” berasal dari kata Yunani “onta” yang berarti sesuatu “yang sungguh-sungguh ada”, “kenyataan yang sesungguhnya”, dan logos” yang berarti “studi tentang”, “studi yang membahas sesuatu” . Jadi dari segi istilah ontologi berarti studi yang membahas sesuatu yang ada.
Objek material ontologi adalah yang ada, artinya segala-galanya meliputi yang ada sebagai wujud konkret dan abstrak, indrawi maupun tidak indrawi. Objek formal ontologi adalah memberikan dasar yang paling umum tiap masalah yang menyangkut manusia, dunia dan Tuhan. Titik tolak dan dasar ontologi adalah refleksi terhadap kenyataan yang paling dekat yaitu manusia sendiri dan dunianya. Dengan demikian, ontologi berarti sebagai usaha intelektual untuk mendeskripsikan sifat-sifat umum dari kenyataan; suatu usaha untuk memperoleh penjelasan yang benar tentang kenyataan; studi tentang sifat pokok kenyataan dalam aspeknya yang paling umum sejauh hal itu dapat dicapai; teori tentang sifat pokok dan struktur dari kenyataan
Objek yang dikaji oleh ilmu adalah semua objek yang empiris, yaitu objek yang bisa ditangkap oleh panca indera. Sebab bukti-bukti yang harus ditemukan adalah bukti-bukti yang empiris. Bukti empiris ini diperlukan untuk menguji bukti rasional yang telah dirumuskan dalam hipotesis.
Apakah objek yang boleh diteliti ilmu itu bebas asalkan empiris? Menurut ilmu, ia boleh meneliti apa saja ; menurut filsafat akan tergantung filsafat yang mana dan menurut agama belum tentu bebas. Jadi sebaiknya seorang ilmuwan harus mempunyai pertimbangan mengenai objek apa yang akan dia kaji.
Ilmu mempelajari objek yang berupa realitas dunia fisik. Cabang kefilsafatan yang mempelajari hakikat realitas disebut metafisika. Metafisika sendiri terdiri dari dua aspek yakni ontologi dan kosmologi.
B. Metafisika
Istilah metafisika yang berasal dari bahasa Yunani: µετά (meta) “setelah atau di balik”, φύσικα (phúsika) “hal-hal di alam” adalah cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah sumber dari suatu realitas, apakah Tuhan ada, dan sebagainya. Metafisika dapat berarti sebagai usaha untuk menyelidiki alam yang berada di luar pengalaman atau menyelidiki suatu hakikat yang berada di balik realitas. Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat, dan kemungkinan.
Metafisika berusaha menjangkau dan mengkaji apakah hakikat dari kenyataan/realitas ini sebenar-benarnya. Metafisika merupakan bagian dari filsafat Perennial yang diperuntukan untuk mengetahui adanya hakikat realitas Ilahi yang merupakan substansi dunia ini baik yang material, biologis maupun intelektual.
Metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati termasuk pemikiran ilmiah. Diibaratkan pikiran adalah roket yang meluncur ke bintang-bintang, menembus galaksi dan awan gemawan, maka metafisika adalah landasan peluncurannya. Dunia yang sepintas lalu kelihatan sangat nyata ini ternyata menimbulkan berbagai spekulasi filsafati tentang hakikatnya.
Beberapa tafsiran Metafisika:
1. Animisme
Animisme adalah kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernaturalisme, dimana manusia percaya bahwa terdapat roh-roh yang bersifat gaib yang terdapat dalam benda-benda seperti: batu, pohon dan air terjun. Animisme merupakan kepercayaan yang paling tua umurnya dalam sejaran perkembangan kebudayaan manusia dan masih di peluk oleh beberapa masyarakat di muka bumi.
2. Materialisme
Materialisme merupakan lawan dari aliran anisme. Materialisme merupakan paham yang berdasaran paham naturalisme, yang berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan yang bersifat gaib, melainkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri. Paham ini dikembangkan oleh Demokritos ( 460-370 SM ). Kaum yang mendukung paham ini adalah kaum mekanistik, mereka melihat gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia fisika semata. Adapun kaum yang menentang paham ini adalah kaum vitalistik yang berpendapat bahwa hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substansi dengan proses tersebut di atas.
3. Aliran monistik
Aliran monistik mula-mula dipakai oleh Christian Wolff , mempunyai pendapat yang tidak membedakan antara pikiran dan zat, mereka hanya berbeda dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai substansi yang sama. Ibarat zat dan energy, dalam teori relativitas Einstein, energy merupakan bentuk lain dari zat. Jadi yang membedakan robot dan manusia bagi kaum yang menganut paham monistik hanya terletak pada komponen dan struktur yang membangunnya dan sama sekali bukan terletak pada substansinya yang pada hakikatnya berbeda secara nyata. Kalau komponen dan struktur robot sudah dapat menyamai manusia, maka robot itu bisa menjadi manusia.
4. Aliran Dualistik
Terminologi dualisme ini mula-mula dipakai oleh Thomas Hyde (1700). Dalam metafisika penafsiran dualistik membedakan antara zat dan pikiran yang bagi mereka berbeda secara substantive. Filsuf yang menganut paham dualistik ini diantaranya adalah Rene Decrates (1596-1650), John Locke (1632-1714) dan George Berkeley (1685-1753). Ketiga berpendapat bahwa apa yang ditangkap oleh pikiran, termasuk penginderaan dari segenap pengalaman manusia, adalah bersifat mental. Bagi Descartes maka yang bersifat nyata adalah pikiran sebab dengan berpikirlah maka sesuatu itu lantas ada. Locke sendiri menganggap bahwa pikiran manusia pada mulanya dapat diibaratkansebuah lempeng lilin yanglicin dimana pengalaman indera lalu melekat pada lempeng tersebut. Makin lama makin banyak pengalaman indera yang terkumpul dan kombinasi dari pengalaman-pengalaman indera ini seterusnya membuahkan ide yang kian lama kian rumit. Dengan demikian pikiran dapat diibaratkan sebagi organ yang menangkap dan menyimpan pengalaman indera.
Objek metafisika menurut Aristoteles, ada dua yakni :
1. Ada sebagai yang ada; ilmu pengetahuan mengkaji yang ada itu dalam bentuk semurni-murninya, bahwa suatu benda itu sungguh-sungguh ada dalam arti kata tidak terkena perubahan, atau dapat diserapnya oleh panca indera. Metafisika disebut juga Ontologi.
2. Ada sebagai yang Illahi; keberadaan yang mutlak, yang tidak bergantung pada yang lain, yakni TUHAN (Illahi berarti yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera).
Ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menafsirkan alam ini sebagaimana adanya. Kalau memang itu tujuannya maka kita tidak bisa melepaskan diri dari masalah-masalah yang ada di dalamnya. Makin jauh kita beravontur dalam penjelajahan ilmiah masalah-masalah tersebut diatas mau tidak mau akan timbul: Apakah dalam batu-batuan yang saya pelajari di laboratorium terpendam proses kimia fisika atau bersembunyi roh yang halus? Apakah manusia yang begitu hidup, semua itu proses kimia fisika juga? Apakah pengetahuan yang saya dapatkan itu bersumber pada kesadaran mental atau hanya rangsang penginderaan belaka?
Semua permasalahan in telah menjadi bahan kajian dari ahl-ahli filsafat sejak dahulu kala. Tersedia gudang filsafat dalam menjawabnya. Kita bisa setuju dengan mereka dan kita pun bisa tidak setuju dengan mereka. Bahkan, kita pun boleh mengajukan jawaban filsafat kita.
Jadi pada dasarnya tiap ilmuan dapat boleh mempunyai filsafat individu yang berbeda-beda; dia bisa menganut paham mekanistik; dia bisa mengaut paham vitalistik; dia boleh setuju dengan Thomas Hobbes yang materialistic atau George Berkeley yang idealistik. Titik pertemuan kaum ilmuan dari semua ini adalah sifat pragmatis dari ilmu.
DAFTAR PUSTAKA
Anshari, Endang Saifuddin. Ilmu, Filsafat, & Agama. PT Bina Ilmu. Surabaya , 2009.
Kattsoff, Louis O. Pengantar Filsafat, penerjemah Seojono Soemargono ,Tiara Wacana, Yogyakarta 1995.
Suriasumantri, Jujun, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, PT Pancaraintan Indahgraha, Jakarta, 2007
Tafsir, Ahmad. Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistomologi dan Aksiologi Pengatahuan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2010.
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda