Langsung ke konten utama

Postingan

Resep Kukis Putri Salju Keju

Hi Fam & Mom, Menyambut lebaran enaknya bikin kue kering dong, ya. Nah, kalau udah punya resep yang dicoba pas dan anti gagal, harus disimpan baik-baik. Untungnya punya blog itu bisa tempat nulis resep 😁 Menurutku, resep ini hasilnya saat di- baking wangi, saat dimakan lembut dan lumer, dan rasanya enak ga terlalu manis ( teu giung teuing kata orang Sunda, mah). Yummy! Bahan intinya yang harus tersedia adalah butter dan tepung terigu protein sedang (bukan kunci biru seperti kukis pada umumnya). Langsung cekidot resepnya.  Bahan Adonan 200 g  mentega+margarin  (kupakai 100 g butter anchor dan 100 g palmia royal) 2 sdm  gula halus 1 butir  kuning telur (suhu ruang) 25 g  keju cheddar, parut 225 - 240 g tepung terigu protein sedang (segitiga biru /all purpose flour), ayak 30 g  susu bubuk 1/2 sdt essence lemon Bahan taburan A. Gula halus, susu bubuk B. Gula donut. Tahapan/Cara Membuat  1. Gula halus dan mentega/margarin dikocok sampai tercampur halus. Cukup sebentar s

Perpustakaan Kita, Jendela Dunia, Jendela Hati (6)

Masa Lalu Dito Sesampainya di rumah Dito sadar dirinya tadi terlalu sensitif dan sempat emosi tak jelas karena terpengaruh kenangan buruk dengan Sylvia dahulu. Rupanya ia belum benar-benar move on . Dito merasa bersalah, Nana bahkan hampir terkena pelampiasannya. Apa ia harus menjelaskan duduk perkaranya pada Nana? Tengah malam Dito gelisah dalam tidurnya. Suatu peristiwa masa lalu tampak menghantui tidurmya. "Kalau kamu sadar dan minta maaf. Aku akan melupakan hal ini dan tak kan mempermasalahkannya lagi," kata Dito.  "Aku bukan penyebab semua ini. Apa ayahmu tak setuju itu salahku? Apa Mas Dito tak jadi ke Australia itu salahku? Aku menderita karena LDR sembunyi-sembunyi ini salahku atau salahmu?" "Kamu tidak merasa bersalah sama sekali menduakan aku?" Dito bertanya. "Apa aku salah saat aku kesepian ada Aa Riza yang jadi pelipur laraku? Kami sama-sama membutuhkan. Maaf, kalau kamu kecewa, but it was not my fault, Dito." Dito pun terbangun dari

Perpustakaan Kita, Jendela Dunia, Jendela Hati (5)

Keluarga Dito Pagi-pagi meski udara dingin, Dito tampak sibuk di carport rumahnya. Setelahnya ia mencari Mama. "Ma, mobilnya sudah Dito cuci, ya! Mobil Mama bisa-bisa paling kinclong tuh di antara mobil teman Mama." Dito berusaha menyenangkan mamanya, Tante Retno, karena akhir-akhir ini dia sudah meminjam mobil sedan mamanya supaya bisa menjemput Nana. "Kamu perlu mobilkah, Dito? Perlu Mama bilang ke papamu?" "Kenapa? Mama ga suka mobilnya kupinjam?" goda Dito. "Mas Bagasmu itu, kukira ia akan meninggalkan mobilnya untukmu. Eh, sebelum dia ke Jepang dia menjual mobilnya. Padahal itu pemberian papamu, kan?" " Ga papa , Ma. Itu kan hadiah dari papa setelah lulus master. Mas Bagas itu pintar memanfaatkan aset di tangannya, Ma. Ia jual saat harga masih tinggi. Ia memang cocok jadi putra mahkota Papa hehe." "Putra mahkota apa, kamu juga anak mama dan papa. Kami mencintai anak-anak papa dan mama. Oh, ya, Dito. Kamu jadi apply  untuk st

Perpustakaan Kita, Jendela Dunia, Jendela Hati (4)

Kencan Pertama Nana sampai bingung berkata apa. Ia yang biasanya langsung menimpali Dito, tak bisa berkomentar apa-apa.  "Apa aku salah dengar Dito berkata aku pacarnya?" pikir Nana sambil memandang Dito yang memarkir mobilnya. Dito menarik rem tangannya. Lalu berpaling ke arah Nana yang masih tampak tak mencerna perkataannya. Ia memegang ujung tangan Nana sambil memandangnya. "Jangan lupa, kamu sekarang pacarku, ya!" kata Dito diikuti mengelus sejenak pipi Nana dengan punggung jarinya. "Ayo cepat turun, kita nanti terlambat kuliah!" sambung Dito. Dua mata kuliah hari itu,  tidak ada yang masuk kepala Nana.  Pagi ini, ia senang, tersanjung tentu saja. Tetapi kepalanya dipenuhi pernyataan Dito terakhir tadi. Klaim sepihak Dito bahwa ia pacarnya  membuatnya tak habis pikir. Nana seperti tidak diberi kesempatan untuk memutuskan menerima atau tidak. "Bisa-bisanya dia se- pede itu! Mengapa ia tak bertanya padaku aku bersedia atau tidak?" Nana mengger

Perpustakaan Kita, Jendela Dunia, Jendela Hati (3)

Melihat Nana datang, Dito turun. Ia lalu membukakan pintu mobil buat Nana.  "Pagi, Nana." Tetapi begitu melihat kaki Nana, ia tampak tersenyum-senyum  Nana curiga. "Ada apa?" "Kaos kakimu itu." Nana langsung memeriksa kaos kakinya.. Ternyata ia sampai tak sadar hanya memakai sebelah kaos kaki! Pantas tadi seperti Mama ingin mengingatkannya. Wajah Nana yang putih langsung tampak merah.  "Kita masih banyak waktu, santai saja. Aku tunggu di sini, kau kembalilah ambil kaos kaki," kata Dito "Tak usah, kucopot saja." Nana bersyukur dalam hati Dito tak mengoloknya. Dito tampak sabar menunggu. Begitu Nana selesai memakai sepatunya kembali, ia baru menyalakan mobilnya. Dito berusaha mencairkan suasana. Ia tahu benar wajah Nana masih merah menyiratkan malu. "Maaf, ya, aku jemput kamu ga bilang-bilang dulu." "Eh, aku yang berterima kasih ini. Kamu repot-repot jemput aku." Dito pun menyetel radio agar suasana makin cair. Benar s

Perpustakaan Kita, Jendela Dunia, Jendela Hati (2)

Minggu demi minggu berikutnya, tempat dan meja itu menjadi tempat favorit Nana dan Dito. Asyik juga rupanya punya sahabat perpustakaan menurut Nana. Jika harus pergi sejenak, entah sholat atau ke belakang, mereka bisa bergantian, tanpa kehilangan meja favorit mereka. Mereka kadang mengobrol, tetapi lebih banyak mereka asik dengan buku atau laptop masing-masing. ____ Hari itu, di area loker perpustakaan, Dito sepertinya mempunyai camilan lebih.  "Ini buatmu," kata Dito. Nana takjub juga, itu camilan kesukaannya. "Kamu tahu kesukaanku, ya!" "Tahulah, bukannya kita ini teman?" Nana tersenyum. "Na, boleh aku tahu nomor WA-mu?" Nana kaget, tetapi ia diktekan juga nomornya. "Thanks. Tuh, yang barusan masuk itu nomorku. Simpan, ya!" kata Dito Nana melihat notifikasi baru.  Nana mengetik "Dito Teman Perpus." Lalu menekan tombol save . "Sudah!" kata Nana. Dito tersenyum. Sore hari mereka pun pulang turun bersama. Dito pemuda

Perpustakaan Kita, Jendela Dunia, Jendela Hati (1)

Alasan terbesar Nana ingin masuk ITB adalah Aa. Nana ingat bagaimana bahagianya dan bangganya Aa saat diterima di ITB. Tetapi karena itu jugalah, Nana merasa Aa semakin tak punya waktu untuk Nana. Dahulu waktu SMA, Nana bisa bertemu 3 kali seminggu dengan Aa. Rumah Aa juga tidak terlalu jauh dari sini. Sepulang bimbel atau kursus sering bertemu. "Menjadi mahasiswa sesibuk itukah?" pikir Nana. Ah, sejak itu Nana akhirnya jadi semakin penasaran dengan ITB. Kakak pertama Nana, sebenarnya juga baru lulus dari ITB. Tetapi entah, dahulu Nana tidak setertarik ini. Mungkin alasan terbesar Nana ingin sekampus dengan pacar.  Nana bahagia, saat pertama kali Aa mengajaknya jalan-jalan di perpustakaan pusat ITB. Letaknya di dekat jalan taman sari, dekat Sabuga. Perpustakaan yang besar,  bertingkat 4, dan membuatku bangga berkuliah di sini. Dan di sini juga kencan pertama Nana di kampus bareng Aa. Tetapi Aa serius juga kalau sedang belajar. Sampai-sampai Nana tak berani menganggu. Tetapi m