Masa Lalu Dito
Sesampainya di rumah Dito sadar dirinya tadi terlalu sensitif dan sempat emosi tak jelas karena terpengaruh kenangan buruk dengan Sylvia dahulu. Rupanya ia belum benar-benar move on. Dito merasa bersalah, Nana bahkan hampir terkena pelampiasannya. Apa ia harus menjelaskan duduk perkaranya pada Nana?
Tengah malam Dito gelisah dalam tidurnya. Suatu peristiwa masa lalu tampak menghantui tidurmya.
"Kalau kamu sadar dan minta maaf. Aku akan melupakan hal ini dan tak kan mempermasalahkannya lagi," kata Dito.
"Aku bukan penyebab semua ini. Apa ayahmu tak setuju itu salahku? Apa Mas Dito tak jadi ke Australia itu salahku? Aku menderita karena LDR sembunyi-sembunyi ini salahku atau salahmu?"
"Kamu tidak merasa bersalah sama sekali menduakan aku?" Dito bertanya.
"Apa aku salah saat aku kesepian ada Aa Riza yang jadi pelipur laraku? Kami sama-sama membutuhkan. Maaf, kalau kamu kecewa, but it was not my fault, Dito."
Dito pun terbangun dari tidurnya.
Kelas 3 SMA Dito berpacaran dengan Sylvia, seorang blasteran cantik Indo-Australia. Hubungan mereka membuat cemas orang tuanya. Karakter bad girl-nya yang seksi dan bebas serta latar belakang keluarga broken home membuat Ayah Dito tidak suka putranya dekat dengan Sylvia. Setelah lulus SMA, Sylvia berencana ikut ibunya yang asli Australia pindah ke Australia. Dito pun ingin mendaftar ke perguruan tinggi di Australia, meski saat itu ia sudah diterima di ITB. Ayahnya curiga motif Dito mendaftar ke Australia demi bisa terus bersama Sylvia. Ayah Dito memaksa Dito putus dengan Sylvia. Ayahnya juga mengancam akan memutus supportnya jika Dito nekad menyusul ke Australia. Hubungan Dito dengan ayahnya pun mencapai titik terburuk.
Kemudian, Dito nekad berpacaran lagi dengan Sylvia diam-diam meski jarak jauh. Tetapi setelah setengah tahun berpacaran jarak jauh, Dito menerima pesan rindu salah kirim yang ternyata bukan ditujukan untuknya.
Bukan "I really miss u, Mas Dito 😘" melainkan "I really miss u, Aa Riza😘"
Saat itu Dito mencoba mengkonfirmasi pada kekasihnya baik-baik. Kekasihnya malah mengaku ia tengah berhubungan juga dengan seorang mahasiswa di Australia yang sama-sama berasal dari Bandung. Sylvia beralasan, hubungannya dengan Mas Dito terlalu menyulitkan, tanpa kepastian, lagi pula harus LDR. Sylvia sama sekali tak mau disalahkan dan tak mengaku bersalah. Ia melemparkan semua kesalahan pada Dito. Dito patah hati, mereka lalu benar-benar putus.
____
Kata-kata menyakitkan dari Sylvia terngiang kembali begitu Dito terbangun. Perasaan sakitnya kembali, serasa baru kemarin. Dito menghela nafas panjang. Ia meraih ponselnya. Masih terlalu pagi untuk bangun, shubuh pun masih lama. Cuaca lepas dini hari itu dingin, ditambah hujan yang turun sejak semalam. Biasanya di cuaca seperti ini orang akan mudah nyenyak tidur. Tetapi bagi Dito suasana ini semakin membuat hatinya kelabu. Dito pun berusaha tidur kembali. Dia pun sempat tertidur. Namun karena suasana hatinya gelisah, ia memimpikan hal yang tak nyaman. Ia pun kembali terbangun. Kali ini azan subuh sudah terdengar, ia memutuskan bangun.
Setelah sholat Shubuh, ia membuka ponselnya. Banyak notifikasi masuk, tetapi ia hanya ingin membuka kembali pesan-pesan wa-nya dengan Nana. Dia sekarang sudah memiliki Nana, semestinya luka hatinya bisa terobati. Ia tersenyum membaca pembicaraan mereka. Ia membayangkan wajah Nana. Lalu ia baru teringat, ia belum punya satu pun foto Nana di ponselnya.
"Bodohnya aku."
Dito turun ke lantai bawah, ia membuka kulkas menuang susu cair lalu membuat susu hangat.
Tante Retno keluar dari kamar, ia sudah melihat Dito di meja makan
"Tumben pagi-pagi sudah turun, kamu mau makan pagi lebih awal? Mau ke kampus?"
"Ga, Ma. Aku memang bangun kepagian aja. Aku berangkat siang."
Ibunya juga membuat minuman hangat menemani Dito minum.
"Kok kamu keliatan tak bersemangat. Ada masalah dengan pacar barumu?"
"Ga kok, Ma. Nana orangnya baik dan manis. Aku baik-baik saja, Ma."
Dito pun beranjak.
Tante Retno mencoba percaya pada putra bungsunya. Tetapi tak lama kemudian terdengar lantunan suara piano Dito bertangga nada minor, bernuansa kelabu, mengalun dari ruang tengah. Lama-lama nuansanya seperti kecewa, lalu berkecamuk, makin lama makin kencang, dan ditutup dengan hentakan-hentakan jemari yang kuat. Tak lama setelahnya, baru alunan nada yang manis pun terdengar menghiasi suasana pagi di rumah.
____
Hari kamis ini Dito dan Nana langsung sibuk menghadapi UTS. Nana mengamati Dito ternyata mahasiswa yang serius dan disiplin. Beberapa kali Dito mengingatkannya yang menurutnya masih kurang usaha dalam belajar. Padahal menurut Nana, ia sudah giat belajar. Dito juga wanti-wanti mengingatkan bahwa kecuali saat berbarengan pulang dan belajar di perpustakaan, saat UTS mereka tidak akan jalan, atau kencan. Nana menurut saja.
Pulang dari perpustakaan. Dito merasa harus menjelaskan duduk perkara waktu Selasa kemarin kepada Nana. Tetapi Dito merasa bingung juga mulai dari mana.
"Na..."
"Ya?"
"Aku sebenarnya ingin menjelaskan sesuatu tentang di Ciwalk kemarin itu."
"Ya."
"Hubunganku dengan mantan terakhir lukanya mungkin belum hilang sepenuhnya. Sehingga waktu itu aku seperti marah padamu."
Dito bercerita bahwa ia seperti muak mendengar perempuan berkata "Aa". Ia juga seperti trauma akan perempuan yang tak menyesal tak mau minta maaf. Dito menceritakan tentang pesan rindu salah kirim dari mantannya dulu.
Tiba-tiba Nana merasa ikut sakit hati sekaligus marah mendengar cerita cinta masa lalu Dito.
"Jangan ingat-ingat lagi. Aku akan bantu menyumpahi orang itu untuk Mas Dito!"
Nana sungguh berharap luka hati Dito seiring waktu bisa sepenuhnya hilang.
Dito tersenyum melihat Nana antusias berada di pihaknya.
Dito melihat Nana mencemaskannya.
"Aku ga papa, kok. Kamu tak perlu memanggilku "Mas" kalau kamu sudah biasa memanggilku Dito. Kita kan seumuran."
"Suka-suka aku dong ingin memanggil pacarku apa. Kamu ga menolak kan kadang kalau kupanggil si ganteng, si cerewet, si pinter, atau si mas?"
"Memang aku margarin?"
"Eh tukang sayur langganan ibuku juga Si Mas panggilannya, loh!"
Dito tertawa.
Nana hanya ingin memastikan Dito bisa tertawa sekarang.
"Sepertinya kamu dipanggil Mas pantes ya. Coba aku check sound, ah. Mas Dito, Mas Dito, Mas Dito, Mas Dito, Mas Dito..."
"Sudah, sudah. Iya untuk Nana aku pasrah dipanggil apapun. Dipanggil beib juga pasrah aku."
Mereka tertawa bersama. Nana lega melihat Dito tertawa lepas.
"Oh, ya. Aku belum punya fotomu. Kamu berdiri di sana, dong. Aku mau foto," pinta Dito.
Nana malu disuruh berpose sendirian di halaman kampus.
"Latarnya belakangnya bagus di situ. Ayolah, Na!" bujuk Dito.
Nana tetap menolak.
"Kamu saja. Biar aku yang foto."
"Ya, sudah kita wefie berdua saja," kata Dito lalu merangkul Nana.
Tiba-tiba ada orang lewat. Nana melepaskan diri. Wefie pun gagal.
Dito merengut.
"Sebagai hukumannya, kamu nanti malam harus mengirim foto selfie sebanyak-banyaknya. Harus tersenyum cantik. Kirim sebelum jam 8 malam."
"Bukannya aku harus belajar?" Nana mencoba protes.
"Kalau begitu, aku beri keringanan. Kirim foto selfie malam ini, minimal 5 foto," tegas Dito.
Lalu Dito pun diam-diam mengambil foto candid Nana.
"Hei, kamu sedang apa?"
"Memang aku dilarang mengambil foto pacarku?" Dito protes.
Nana lalu berlari kabur.
____
Pukul jam delapan malam kurang 5 menit, Dito mengirim pesan wa untuk Nana.
"Kamu lagi apa, Sayang?"
"Lagi belajar. Kamu, Mas?"
"Tadi belajar, sekarang aku lagi nunggu kiriman foto dari kamu."
Nana kaget ternyata Dito serius.
"Tapi aku jarang selfie."
"Tidak usah sering selfie, untuk mengirim 5 foto selfie padaku. Itu hukumanmu tadi, selalu berkelit dan kabur dariku!"
"Aku sungguh tak terbiasa selfie, Dito."
"Please, Nana. Apa kamu tega jika aku kadang masih belum move on."
Nana pun luluh. Nana tidak tahu bahwa itu sebagian juga taktik Dito. Nana tak mau Dito teringat gadis lain.
"Sebentar kalau begitu. Jangan ngeledek kalau jelek, ya!"
Beberapa menit kemudian. Terkirim sebuah foto. Tampak Nana mencoba tersenyum, tetapi tampak kaku.
"Sepertinya jujur Nana tidak terbiasa selfie," Dito tersenyum dalam hati.
Tetapi tetap saja Dito senang mendapat foto Nana.
"Kirim lagi dong, Sayang!" Dito mengirim pesan.
"Yang tadi jelek, ya?" jawab Nana.
"Cantik, dong. Makanya aku ingin punya beberapa. Coba kali ini ikat rambutnya di lepas. Urai rambutmu, Sayang."
Tak lama kemudian, 1 foto lagi dikirimkan. Rambutnya masih diekor kuda. Masih kaku meski lebih mendingan. Dito gemas, ingin rasanya ia terbang menjadi fotografernya.
"Tiga lagi, Sayang."
Setelah sabar menunggu beberapa menit, 3 foto tambahan pun berhasil didapatkan Dito. Ketiganya dengan rambut sudah terurai. Dito tersenyum puas.
"Terima kasih, sayangku cantik. Kamu silakan belajar lagi, ya! Selamat belajar 😘😘😘"
Nana tersipu.
"Sama-sama, Mas. Selamat belajar juga."
Dito mengajak Nana bertemu Sabtu ini. Tapi bukan untuk berkencan. Mereka akan bertemu setengah hari di perpustakaan yang memang buka setengah hari.
Nana sudah datang terlebih dahulu. Ia menunggu Dito di depan perpustakaan. Nana melihat Dito datang. Dan beda dengan hari biasa, kali ini Dito tampil sungguh kasual. Celana jeans, sepatu kets, dan T-shirt. Nana cukup terpana melihat kekasihnya tampak macho, tegap dan keren.
Begitu melihat Nana, Dito pun tersenyum. Dia menghampiri Nana lalu berbisik,
"Na, pria pun bisa grogi kalau kamu pandangi seperti itu tadi."
"Memandang bagaimana?" Nana mencoba berkelit.
"Penuh cinta. Kamu jangan sembarang memandang cowo lain seperti itu, ya," bisik Dito menggoda.
Jam menunjukkan pukul 1 siang saat Nana dan Dito turun dari perpustakaan.
"Maaf, ya, Sayang. Karena kita baru jadian di saat di kampus sedang banyak tugas dan ujian. Aku jadi belum bisa datang main ke rumahmu weekend ini atau mengajakmu keluar."
"Iya, aku paham. Ga masalah. Toh, kita hampir setiap hari bertemu."
Dito pun mengelus rambut Nana.
Lalu, Dito berkata baru Sabtu depan ia akan berkunjung ke rumah Nana. Ia ingin memperkenalkan diri dahulu kepada orang tua Nana, karena ia belum minta izin mengencani Nana.
___
Minggu berikutnya Dito dan Nana lebih sibuk lagi. Mereka fokus pada ujian dan belajar. Mereka tetap bertemu 3 kali seminggu di perpustakaan. Dan kadang makan siang bersama.
Nana tak mau setiap hari merepotkan Dito juga. Nana keberatan Dito mengantarnya tiap hari. Bukannya tidak senang. Tetapi rumah mereka memang berlawanan arah. Dito di Dago Atas, rumah Nana masuk wilayah di Bandung Selatan.
"Aku saja yang bawa motor ga keberatan. Mengapa kamu yang keberatan?" kata Dito.
"Bukannya kamu itu disiplin dan rajin belajar? Kalau kamu langsung pulang, kamu bisa cepat belajar lagi di rumah."
"Baik kalau begitu. Khusus kalau bakal ada UTS dan UAS, ya!"
Suatu sore, Dito menunggu Nana selesai UTS.
"Gimana tadi UTS?" tanya Dito begitu bertemu Nana.
"Lumayan pusing, Mas... hehehe," jawab Nana
Dito bertanya bagaimana ia bisa menemui orang tua Nana di hari Sabtu.
"Papa dan mama dari Sabtu sore ada di rumah, kok," kata Nana.
"Mamamu sudah tahu, ya, kita jadian?"
"Mama sepertinya tahu sendiri tanpa kuberi tahu."
"Papamu?"
"Aku tak berani bicara pada papa. Aku tak tahu apa Mama bicara pada papa."
Dito menghela nafas. Bicara pada Oom Farid, papa Nana, sepertinya penuh tantangan.
"Sebelum pulang, kita jajan, yuk! Kamu pasti lapar habis ujian sore ini," ajak Dito.
Nana tersenyum simpul. Kali ini ia dapat kompensasi boleh jalan bareng dan makan selama periode UTS kah? Apa karena besok UTS terakhir? Tetapi Nana tak berani menanyakannya, takut tiba-tiba Dito membatalkan niatnya.
Ternyata Dito hanya mengajak Nana ke kantin untuk membelikannya roti. Dan Nana disuruh cepat menghabiskannya di tempat. Dito bahkan membelikannya air mineral supaya ia bisa menghabiskan roti lebih cepat.
"Ya, Tuhan. Mengapa pacarku strict dan disiplin begini," keluh Nana dalam hati.
"Mengapa cemberut begitu, Sayang? Kamu pikir kita akan main ke cafe? Bukannya sudah kubilang selama UTS kita ga akan jalan atau dating"
"Iya, Mas." kata Nana pasrah.
"Be a good girl!" kata Dito sambil mengusap kepala Nana.
Malam itu setelah makan malam, Nana berkata pada papa dan mamanya bahwa teman prianya hari Sabtu ingin datang berkenalan dengan papa dan mama.
"Pacarmu?" tanya Papa
"Iya."
"Anak ITB juga?"
"Iya."
"Dulu katanya kamu kapok, gak mau cari pacar anak ITB lagi. Bagaimana kalau kamu kecewa lagi?"
"Kalau itu ya nasib, Pa."
Mama langsung tertawa.
"Sudah, Papa ketemu saja anaknya dulu. Sepertinya anaknya baik. Dia menawarkan diri berkenalan berarti anaknya bertanggung jawab. Dan anaknya kasep juga. Mama sampai heran pintar juga anak kita teh menggaet pacar nu ganteng," Tante Nia mencoba membujuk suaminya.
"Papa ada waktu?" tanya Nana.
"Coba Papa lihat seganteng apa pacarmu, ya! Kalau ganteng kecewa lagi pun, kamu tak terlalu rugi begitu?"
Nana hanya bisa meringis disindir papanya. Papa pun mengucek rambut putrinya.
(Bersambung...)
Perpustakaan Kita, Jendela Dunia Jendela Hati (7)
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda