Keluarga Dito
Pagi-pagi meski udara dingin, Dito tampak sibuk di carport rumahnya. Setelahnya ia mencari Mama.
"Ma, mobilnya sudah Dito cuci, ya! Mobil Mama bisa-bisa paling kinclong tuh di antara mobil teman Mama."
Dito berusaha menyenangkan mamanya, Tante Retno, karena akhir-akhir ini dia sudah meminjam mobil sedan mamanya supaya bisa menjemput Nana.
"Kamu perlu mobilkah, Dito? Perlu Mama bilang ke papamu?"
"Kenapa? Mama ga suka mobilnya kupinjam?" goda Dito.
"Mas Bagasmu itu, kukira ia akan meninggalkan mobilnya untukmu. Eh, sebelum dia ke Jepang dia menjual mobilnya. Padahal itu pemberian papamu, kan?"
"Ga papa, Ma. Itu kan hadiah dari papa setelah lulus master. Mas Bagas itu pintar memanfaatkan aset di tangannya, Ma. Ia jual saat harga masih tinggi. Ia memang cocok jadi putra mahkota Papa hehe."
"Putra mahkota apa, kamu juga anak mama dan papa. Kami mencintai anak-anak papa dan mama. Oh, ya, Dito. Kamu jadi apply untuk student exchange itu? "
"Sudah, kok, Ma! Doakan aku lolos, ya Ma!" Dito memeluk Mamanya.
Begitu Dito selesai mandi, Mama memanggilnya.
"Dito, Mama menemukan ikat rambut perempuan ini di mobil. Kamu punya pacar tidak cerita sama Mama?"
Dito terhenyak. Ia menyesal tadi malas membersihkan bagian dalam mobil.
"Hehe... Itu punya Nana, Ma. Dito bukan ga mau cerita sama Mama. Kami baru juga jadian kemarin," kata Dito sambil mengambil ikat rambut.
Dito rasanya sulit menyembunyikan sesuatu tentang Nana kalau sudah ada bukti barang Nana begini. Lebih baik langsung terus terang.
"Dia temanmu di kampus?" tanya Mama.
"Iya, Ma."
"Asli orang sini?"
"Asli mojang Bandung kok, Ma."
Mama terlihat lega.
"Kamu tidak apa-apa pacaran naik motor? Mojang Bandung-mu ga lari?" goda Mama.
"Eits, Mama. Pacaran naik motor bakal asyik! Nana juga suka naik motor."
"Bisa-bisa Mama kehilangan anak-anak Mama, karena anak bungsu Mama pun asyik pacaran."
"Ga dong, Ma. Mamaku yang cantik tetap spesial di hatiku. Mama malah bentar lagi punya tambahan calon menantu," rayu Dito sambil mencium pipi Mamanya.
Tante Retno tersipu.
"Kamu masih umur berapa sudah mau bawa calon menantu buat mama? Kamu masih perlu sekolah."
"Kalau Nana tidak dipacari sekarang, bagaimana kalau nanti diambil orang, Ma?"
"Kamu baik-baik kalau bawa gadis orang. Jangan lupa izin orang tuanya. Jangan macam-macam. Tetap utamakan masa depanmu."
"Siap, Mama! Makasih, Ma!" Dito mencium lagi pipi Mamanya.
Hari ini Dito pergi ke kampus dengan motornya. Jadwal kuliah Nana hari ini lebih siang. Jadi Dito duluan pergi ke kampus. Dito berharap Nana memenuhi janji untuk tidak naik motor ke kampus. Ia tak mau pacar kesayangannya itu keluyuran sendiri naik motor dengan kemampuan masih seperti itu.
Dito berpikir bagaimana cara ia melatih Nana. Ia tentu tak bisa terus melarang jika Nana ingin menggunakan skutiknya.
____
Sekarang pukul satu kurang. Dito baru selesai kuliah. Ia juga tahu Nana selesai kuliah. Dito menulis wa untuk Nana.
"Kamu makan siang dengan Alia?"
"Alia makan dengan pacar barunya. Aku sepertinya ikut makan dengan teman satu kelas aja."
"Bukannya kamu juga punya pacar baru? Kamu mau makan siang dengan pacar barumu-kah?"
Ia menunggu Nana typing...
"Mau. Kita ketemu di mana?"
____
Dito dan Nana makan berhadapan di kantin. Sampai saat makan pun, Dito suka memandangi Nana, kekasihnya ini. Nana mulai merona karena dipandangi Dito. Dito semakin gemas.
"Kamu makan banyak, ya! Kamu kayanya naik 3-4 kilo lagi bisa."
"Kupikir cowo ga mau cewenya gemuk?"
Dito menggeleng.
"Naik beberapa kilo masih aman untukmu. Malah, jika kamu sertai dengan olah raga, massa otot yang akan naik," Dito menjelaskan.
"Oh..."
Dito sepertinya banyak tahu tentang kebugaran tubuh. Pantas tubuhnya bagus, pikir Nana.
"Ayo cepat habiskan. Abis ini kita sholat lalu ke perpus. Kamu minggu ini sudah mulai UTS?"
"Minggu depan."
Mereka sholat Dhuhur di basement perpustakaan. Sehabis sholat Dito bertanya.
"Kamu masih malu dengan petugas perpus? Kalau ga, kita coba belajar di lantai paling atas," usul Dito.
"E... Ga usah sih. Kita sebenarnya ga bikin kesalahan, kan? Biar sekalian mereka tahu kita sudah resmi pacaran hihi."
Dito sambil gemas mengucek rambut Nana. Tiba-tiba Dito ingat ikat rambut Nana yang tertinggal di mobil Mama.
"Karena ikat rambut ini, mamaku tahu aku punya pacar," kata Dito sambil menyerahkan ikat rambut Nana.
Nana tampak panik, ternyata ikat rambutnya yang hilang tertinggal di mobil Mama Dito.
"Tak apa-apa, Sayang."
"Dito, lain kali kita ga usah pakai mobil ortu lagi, ya!" Nana sepertinya takut.
"Oke. Tapi, kamu nanti mau berkenalan dengan Mamaku, kan? Aku pacaran denganmu serius, Na," jawab Dito.
"Tak apa-apa kah? Aku takut."
"Tenang saja, kita punya banyak waktu. Sebelumnya, aku yang harus berkenalan dulu dengan ayahmu."
"Ibumu seperti apa? Pekerjaannya apa?" Nana merasa harus mencari info dahulu.
"Ibuku sudah lama menjadi ibu rumah tangga sejak mengurus anak-anak di Bandung, dan ayah di Jakarta. Ibuku sibuk mengurus rumah di dua tempat."
Mereka naik ke perpustakaan lantai 3. Nana masih penasaran tentang keluarga Dito.
"Kamu berapa bersaudara?" tanya Nana selanjutnya.
"Aku punya 2 orang kakak. Kakak pertama perempuan sudah menikah. Kakak keduaku tak lama ini bertunangan, ia akan menikah tahun depan. Aku bungsu anak ketiga."
"Kalau keluarga aku mungkin kamu sudah tahu. Kakakku ya, Kak Dika itu. Aku ga punya adik. Hanya 2 bersaudara," Nana menerangkan.
Mereka menaruh tas mereka di loker. Dan membawa alat tulis dan buku yang mereka perlukan. Lalu sambil menuju meja favorit mereka. Dito kembali menceritakan keluarganya pada Nana.
"Kakakku yang paling besar, Kak Indri, tinggal di Jakarta dan sudah punya anak. Kak Bagas baru berangkat ke Jepang untuk S2-nya yang kedua. Di rumah tinggal aku dan mama."
Mereka berdua lalu mulai mempersiapkan belajar untuk UTS yang datang menjelang. Pukul setengah lima Dito mengajak turun. Mereka sholat Ashar lalu keluar dari perpustakaan. Dito berkata ia akan mengajak Nana jalan-jalan sebelum sibuk persiapan UTS.
"Tetapi kamu sampai rumah nanti lanjut belajar, ya! Berhenti dulu nonton drakornya."
"Iya, Kaka!" jawab Nana. Nana merasa Dito mengawasinya bagai anak kecil.
"Oh, ya, aku bawa motor, kamu ga papa bonceng motor cowo?"
"Aku belum pernah, sih. Kayaknya asyik juga."
Dito mengajak Nana main ke Ciwalk. Dito menarik tangan Nana agar melingkarkan tangan di lengannya. Ia pun memegang tangan Nana dan memberi tanda agar memegang erat jangan dilepas. Nana paham. Ia pun berjalan sambil terus merangkul erat lengan Dito. Lama-lama Nana menjadi manja, ia seperti senang bergelayut di lengan Dito yang tampaknya kuat ini. Dito sendiri tampaknya senang memanjakan kekasihnya.
Nana teringat cerita Dito tentang keluarganya. Ia kepo masih penasaran.
"Kak Bagas dan tunangannya sama-sama kuliah di Jepang? "
"Ga. Mba Shanti sekarang masih S2 di Australia. Masku pacaran dengannya saat kuliah di Australia. Mba Shanti baru mau menikah setelah lulus S2. Mereka pasangan ambisius, bukan?"
"Bukan ambisius lagi, mereka hebat-hebat! Mereka sekarang LDR terus berarti, bahkan sampai tahun depan??"
"Mas Bagas mungkin libur semester pulang. Mba Shanti kalau rindu mungkin terbang menengok Masku. Horang kaya, dia mah, bebas haha. Kamu juga pasti kangen, kan, kalau beberapa bulan ga ketemu aku?"
"Aku ga bakal tahan kalau LDR kayaknya, apalagi sudah biasa ditemani kamu."
Nana merangkul lengan Dito erat-erat seperti tak rela ia pergi.
Dito terdiam. Kalau Nana tahu dia apply pertukaran pelajar untuk 1 semester, apa Nana akan kecewa dan pergi darinya? Ia memang tak akan tega dan tak sanggup meninggalkan Nana terlalu lama. Namun jika kurang dari setengah tahun, meski berat, menurutnya masih masuk akal. Tetapi bagaimana jika Nana tak terima? Sebelum semuanya pasti, Dito merasa harus menyimpan rencananya dari Nana.
"Jadi, kamu dan keluargamu itu tinggal di Jakarta dan Bandung?" tanya Nana.
"Iya. Dahulu kami tinggal di Jakarta. Begitu Mbak Indri diterima kuliah di Bandung, sejak SMP aku sering diajak bolak-balik Jakarta-Bandung. Akhirnya ketika Mas Bagas diterima di ITB, papa pun memutuskan mama dan anak-anak tinggal di Bandung. Papa yang mengalah bolak-balik Jakarta-Bandung."
"KTP-mu mana?" tanya Nana bak petugas sensus.
"KTP Jakarta."
"Kamu warga ilegal Bandung, ya!" ejek Nana.
Dito ingin mengucek-ngucek rambut Nana. Tapi Nana keburu berkelit dan meloloskan diri. Nana tertawa puas. Dito lalu membela diri.
"Eh, aku cinta Bandung. Kang Emil, senior kita, itu walikota favoritku. Dan sama mojang Bandung yang ini juga aku jatuh cinta," kata Dito sambil menangkap tangan Nana agar tidak lolos lagi.
Nana pun tertangkap. Dito menyuruh Nana melingkarkan tangan di lengannya. Dito mengunci tangan Nana dengan erat.
Nana lalu gantian menceritakan keluarganya.
"Keluarga kami jarang berpisah. Aku dan kakakku dari kecil sampai kuliah di Bandung. Baru-baru ini saja Kak Dika ke Jakarta, karena kerja. Meski papa ga melarang Kak Dika kuliah di luar kota, tetapi ia memilih kuliah Bandung. Sedangkan aku, dari jauh hari sudah diingatkan untuk memilih kuliah di Bandung saja."
"Kalau jadi papamu, aku juga tak akan tenang membiarkan gadis secantik dan seimut kamu di luar kota," komentar Dito.
Nana langsung tersipu setiap kali Dito mengatakannya cantik.
Dito melihat Nana sudah mulai haus.
"Kamu mau es krim?" tanya Dito.
"Aku mau Sundae," jawab Nana bersemangat.
"Rasa coklat?"
"Rasa strawberry, please."
Mereka duduk-duduk istirahat sambil menikmati es krim. Nana melanjutkan ceritanya.
"Eh, bukan berarti Papa tak pernah berpisah dari keluarga. Papa kadang suka keluar kota. Waktu aku kecil, Papa malah sempat kos beberapa lama di Jakarta."
Dito mendapatkan poin dari cerita Nana. Ayah Nana sendiri pernah terpisah jarak demi keluarga. Mungkin suatu saat Nana bisa diyakinkan jika mereka terpaksa berpisah jarak. Dito ingin hubungan dengan Nana sampai ke tahap serius. Ia tak mau hubungannya gagal lagi hanya karena jarak.
Mereka lalu melanjutkan lagi berjalan-jalan. Dito kembali menyuruh Nana menggandeng lengannya.
"Kamu punya mantan pacar?"
Nana tak menyangka Dito ingin tahu masa lalunya.
"Iya. A Robi, kami putus waktu aku baru masuk ITB," kata Nana membuka kisah lamanya..
"Hmm... kamu masih panggil dia Aa?" Dito tampak cemburu.
"Dia kan lebih tua dari aku Dito, orang Sunda, senior kita. Dia tingkat akhir sekarang."
"Sebentar, kamu ultah bulan Mei, kan? Aku bulan Januari. Aku juga lebih tua darimu."
"Kamu cemburu? Aku sudah tak ada apa-apa lagi dengan Kak Robi. Sungguh. Kamu jangan marah, ya?"
"Panggil aku Mas, kalau mau aku ga marah."
Nana malah tertawa.
"Sebenarnya aku tahu kamu itu ga gampang marah, kok!"
Nana kembali tertawa. Ia merasa Dito hanya pura-pura cemburu dan merajuk. Tapi sebenarnya hari itu Dito berbeda.
Nana merasa harus membalas pertanyaan Dito, baru akan adil.
"Kamu pernah punya pacar juga, kan? Melihat kamu begitu pengalaman dengan perempuan."
Dito tampak merengut, apa kesannya dia tukang main perempuan?
Nana langsung meralat.
"Eh, bukan itu maksudku."
"Iya, aku memang pernah punya pacar. Tetapi aku tidak pernah berniat mempermainkan perempuan."
"Aku tahu, aku percaya. Maaf."
"Panggil aku Mas, lalu minta maaf yang benar."
Nana berpikir jangan-jangan dari tadi pun
Dito cemburu terkait A Robi. Sehingga minta dipanggil Mas? Tapi Nana tak mau ambil pusing. Karena ia yang salah, maka ia menurut saja.
"Mas Dito yang baik hati. Maafkan aku karena salah bicara. Please."
Dito tampak senang dan puas atas pilihan kata dari Nana. Namun tiba-tiba Dito merasa respon dan perilakunya berlebihan.
"Maafkan aku juga. Maaf aku sedikit sensitif, Sayang. Kamu pasti ga bermaksud begitu."
Dito merangkul Nana ke bahunya, dan mengelus kepalanya
Dito menyesali dirinya yang sempat sensitif terbawa masa lalu. Ia harus lebih bisa berpikir benar dan mengendalikan diri. Untungnya Nana tak mengambil hati dan tak mempedulikan hal itu. Ia lebih tertarik dengan pemandangan di Ciwalk. Dito merasa bersyukur.
Sebentar lagi mentari terbenam, Dito mengajak Nana pulang. Tetapi Nana malah menggelayut manja di lengannya.
"Dito... aku belum pernah jalan di skywalk."
Yang dimaksud Nana ia masih ingin jalan ke Teras Cihampelas yang baru tahun itu diresmikan Kang Emil, bahkan viral karena beberapa bulan lalu dikunjungi Presiden.
Dito bukan tak ingin memanjakan dan berlama-lama dengan Nana. Dia hanya merasa mereka harus disiplin menjelang UTS seperti ini.
"Nanti kapan-kapan kita jalan ke atas. Sekarang sudah terlalu sore, Sayang. Bukankah kita mau UTS? Aku juga harus mengantarmu pulang, kalau tidak Mamamu was-was."
"Iya, Mas. Maaf. Seharusnya kita pulang."
Nana baru menyadari jikalau mereka keluyuran malam, bisa-bisa mereka malah dilarang berpacaran oleh orang tuanya.
"Be a good girl," kata Dito sambil mengusap rambut Nana.
Seolah membawa anak yang takut kabur, Dito pun menggandeng erat tangan Nana sampai ke tempat motornya diparkir. Begitu sampai, ia langsung memakaikan helm ke kepala Nana, baru memakai helmnya sendiri. Tak lama kemudian,
"Ayo, naik. Pegangan yang erat, kita harus cepat sampai," kata Dito.
Mereka pun berboncengan melintasi jalanan kota Bandung.
(Bersambung...)
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda