Kencan Pertama
Nana sampai bingung berkata apa. Ia yang biasanya langsung menimpali Dito, tak bisa berkomentar apa-apa.
"Apa aku salah dengar Dito berkata aku pacarnya?" pikir Nana sambil memandang Dito yang memarkir mobilnya.
Dito menarik rem tangannya. Lalu berpaling ke arah Nana yang masih tampak tak mencerna perkataannya. Ia memegang ujung tangan Nana sambil memandangnya.
"Jangan lupa, kamu sekarang pacarku, ya!" kata Dito diikuti mengelus sejenak pipi Nana dengan punggung jarinya.
"Ayo cepat turun, kita nanti terlambat kuliah!" sambung Dito.
Dua mata kuliah hari itu, tidak ada yang masuk kepala Nana. Pagi ini, ia senang, tersanjung tentu saja. Tetapi kepalanya dipenuhi pernyataan Dito terakhir tadi. Klaim sepihak Dito bahwa ia pacarnya membuatnya tak habis pikir. Nana seperti tidak diberi kesempatan untuk memutuskan menerima atau tidak.
"Bisa-bisanya dia se-pede itu! Mengapa ia tak bertanya padaku aku bersedia atau tidak?" Nana menggerutu dalam hati.
Suara Alia menyadarkannya.
"Kamu sekarang sering melamun terus deh, Na!" tegur Alia.
Saat makan siang, Alia penasaran dengan Nana.
"Kamu lagi naksir seseorang, ya?"
"Alia, tak apa-apa kalau aku jadian lagi?"
"Memang kenapa? Asal jangan dengan Aa Robi-mu itu lagi. Meski dia sudah putus dengan cewe itu, jangan sekali-sekali kamu memikirkan dia lagi!"
"Bukan dengan Aa Robi, aku sudah move on kok."
"Siapa cowoknya? Anak ITB lagi, kah?"
"Iya."
"Yang pernah jemput kamu di jurusan?" tanya Alia.
Rupanya Alia diam-diam melihat mereka waktu itu.
Sore itu, Nana tak sabar ingin bertemu Dito di perpustakaan. Nana ternyata datang lebih cepat. Ia ingin segera protes karena Dito yang secara sepihak memutuskan ia pacarnya.
Bagaimana kalau ia tak bersedia? Nana merasa harus menegur tindakan tak demokratis dari Dito ini.
Nana melihat Dito datang menghampirinya. Dito tersenyum padanya. Sosoknya yang jangkung, tegap, dadanya lebar, wajahnya kharismatik, tetapi tatapannya lembut saat memandang Nana. Dito terlihat tampan, rapi, tetapi tetap terlihat kasual. Nana seakan terbius sejenak melihatnya. Tetapi Nana kemudian sadar, tujuannya pertama kali adalah menegur Dito. Nana memasang tampak merengut.
Melihat Nana sudah menunggu tetapi bertampang cemberut, Dito mengambil kado coklat dari tasnya dan menyerahkannya pada Nana.
"Untuk pacarku yang cantik, terima kasih karena sudah terlahir di dunia dan mengisi hatiku," rayu Dito.
Nana tak mau begitu saja menerimanya.
"Kata siapa aku pacarmu?"
Dito hanya mengelus ujung jari Nana dan menyerahkan kado coklat ke genggaman tangan Nana. Nana kembali terbius. Tiba-tiba Nana sadar,
"Dito ini di perpus. Nanti ada orang!"
"Biar saja, petugas di perpus sini juga sepertinya sudah mengira kita pacaran," kata Dito sambil tertawa pelan.
"Hah?"
"Orang yang sering ke lantai ini pun, pasti mengira begitu."
"Masa?"
Nana sepertinya mendadak lupa ia sedang merajuk. Dito tertawa. Nana tampak termangu memikirkan perkataan Dito. Dito membantu Nana memasukkan tasnya ke dalam loker. Nana ingat kado yang dipegangnya, ia menyertakannya juga ke dalam loker.
Sambil duduk di meja perpustakaan, Nana masih tampak berusaha mencerna perkataan Dito. Tadi Nana rencananya akan memarahi Dito. Tetapi, perkataan Dito membuatnya berpikir. Dito memandang gemas Nana yang tampak bingung. Di perpustakaan ini, bahkan orang-orang yang mengerti menjauh dari meja mereka.
"Dito, memangnya..."
"Pacarku ini yang cantik ini memang polos. Sudah jangan dipikirkan lagi. Ayo, belajar."
Nana mencoba mulai belajar. Tetapi baru beberapa menit ia kembali memikirkan perkataan Dito. Ia tak bisa konsentrasi.
"Dito," bisik Nana
"Ya?" jawab Dito sambil membaca.
"Apa sebulan ini kita terlihat begitu akrab di sini?" bisik Nana penasaran.
"Iya," Dito masih membaca
"Seperti orang yang pacaran?"
"Bisa jadi."
"Tetapi, tetap saja kamu tak boleh mengklaim aku pacarmu," Nana mengutarakan protesnya.
"Kalau tidak begitu kasian Nanaku. Bisa gak laku karena sudah dikira pacarku-- Aw, sakit!"
Tiba-tiba paha Dito sudah terkena cubitan keras.
"Aku bercanda sayang, maaf!" kata Dito menyesal.
Nana kali ini sungguh terlihat ngambek. Dito lalu menghadap ke arah Nana. Ia memegang tangan Nana.
"Aku sungguh bercanda, Sayang. Aku sudah tahu Nana sejak lama. Kamu cukup terkenal, loh. Tak kusangka semester ini kamu suka juga ke perpus pusat. Aku memperhatikan kamu di perpustakaan. Aku suka kamu. Tetapi waktu itu, kamu sama sekali tidak pernah melihat ke arahku. Begitu kamu mengenaliku, aku mencoba mendekatimu. Untungnya kita mudah akrab dan cocok. Sejak itu, aku rutin duduk di dekatmu. Dan sejak aku mendekatimu, aku tahu orang-orang segan dekat-dekat dengan kita. Dan kita pun bisa leluasa saling menemani. Maafkan aku, ya Na, karena tadi tidak bertanya dahulu pendapatmu. Jangan marah lagi."
Dito pun mengelus tangan Nana.
"Tapi kamu tahu, kamu salah?" Nana ingin memastikan.
"Iya. Maaf. Dan... jangan minta putus dariku, please. Jangan sampai pacaran kita hanya 6 jam."
Nana mulai tertawa sedikit.
"Kok kamu tadi sepede itu mengklaim sepihak?" tanya Nana penasaran.
"Enam puluh persen aku percaya kamu juga punya perasaan yang sama. Empat puluh persennya aku harus nekad. Supaya peluang mendekati 100%."
Nana hanya ternganga mendengar penjelasan Dito.
Mereka berhenti bicara karena ada orang yang duduk di sebelah meja mereka. Dito dan Nana pun kembali dengan bahan belajar masing-masing.
Selang 15 menit kemudian.
"Na," bisik Dito.
"Ya?"
"Masih marah?"
"Ya, sudah, kamu kumaafkan. Aku... memaklumi itu sebagai bagian dari taktik kamu."
Dito tampak lega ia tersenyum manis pada Nana. Sambil mengelus kepala Nana ia mengucapkan terima kasih.
Tak lama kemudian Nana mengajak Dito pulang. Rasanya terus belajar pun ia tak bisa fokus. Alih-alih mencerna isi buku, ia salah tingkah karena hari ini Dito tampak tak segan menunjukkan kemesraannya di perpustakaan. Jikalau sebelumnya benar seperti yang Dito katakan bahwa orang bisa berasumsi mereka pasangan atau menebak Dito sedang pendekatan. Hari ini, orang-orang yang melihat mereka jelas pasti tahu mereka berpacaran. Nana merasa ingin bersembunyi dari dunia karena malu.
Setelah Ashar mereka pun keluar perpustakaan bersama, dan berjalan beriringan seperti biasa. Tetapi, perubahan status pertemanan mereka membuat Nana bingung harus bagaimana dan bicara apa. Melihat Nana yang tampak ragu, Dito menggandeng tangan Nana melintasi jalan. Sampai turun tangga ke arah labtek pun Dito masih menggandeng tangannya.
"Dito, malu ah, banyak orang."
Dito mengerti maksud Nana. Ia melepaskan tangan Nana.
"Tapi, kamu ga malu kan jadi pacarku?"
"Nggak, maksudku bukan seperti itu."
"Aku tahu."
Dito tersenyum. Jika memang Nana sepemalu ini, ia juga gemas.
Dito tampak bahagia sore ini. Sedangkan Nana rasanya masih percaya tak percaya. Nana memandang Dito, bagaimanapun ia sudah menerima pemuda jangkung yang perhatian ini menjadi pacarnya. Dan Dito jelas jauh dari sosok pacar yang buruk, bukan juga sosok yang biasa saja. Dia cukup istimewa.
"Apa mungkin ada perempuan yang naksir Dito akan patah hati melihat mereka berdua?" Nana bertanya-tanya dalam hati.
"Na..."
Panggilan Dito menyadarkan lamunan Nana.
"Hari pertama jadian, mumpung belum sore, kamu mau ke mana?" tanya Dito.
Nana bingung juga, kejadian hari ini masih suatu kejutan yang di luar dugaannya.
"Aku ga punya bucket list seperti cewe-cewe di drakor 'hal-hal yang ingin dilakukan ketika jadian.' Terserah kamu saja."
"Kamu mau nonton? Tetapi setelah magrib baru bisa pulang," Dito mengajukan alternatif.
Nana mengangguk setuju. Mereka pun langsung mempercepat langkah mereka menuju tempat parkir, supaya tak tertinggal jam tayang sore hari.
Nana dan Dito berhasil mendapatkan tiket bioskop. Karena hari Senin, tiket rasanya lebih terjangkau untuk mahasiswa.
"Kamu mau popcorn?" tanya Dito.
"Aku sebenarnya lapar," jawab Nana apa adanya.
Dito tertawa mengucek rambut Nana.
"Kubelikan hot dog, ya, Sayang."
"Terima kasih."
"Kamu duduk saja dahulu. Biar aku yang beli makanan."
Nana menurut. Rasanya Dito yang lebih siap berkencan. Hari ini Nana ikut saja.
Selang beberapa menit kemudian Dito membawa hot dog untuk Nana dan minuman untuk mereka berdua.
"Kamu cuma minum?" tanya Nana.
"Aku ga pernah makan berat sambil nonton,"
"Aku belikan popcorn apa?" Nana menawarkan.
"Boleh."
Dito membiarkan Nana membelikan kudapan untuknya. Kini giliran ia yang duduk menunggu Nana. Tetapi tetap, matanya tak bisa lepas dari mengawal Nana dari kejauhan.
Saat pengumuman pintu teater dibuka, Nana datang membawakan popcorn untuk Dito.
"Bahagianya aku punya pacar cantik, baik hati lagi," kata Dito.
Nana tiba-tiba tak bisa berkata-kata. Ia tersipu malu.
Dito melihat pipi Nana memerah, begitu menggemaskan. Dito menggandeng tangan Nana mengajaknya masuk.
Di tengah film, setelah hot dog-nya habis, Nana keluar menuju rest room. Sebelum nanti keluar bersama Dito, ia ingin memastikan, di wajahnya atau bajunya tidak ada noda saus bekas makan hot dog. Ia baru ingat Dito tadi pagi menyuruhnya berdandan cantik. Apa mungkin karena ia sudah berniat mengajaknya berkencan?
"Dia sungguh sudah merencanakannya, sedangkan aku hari pertama jadian tak tahu malu, malah minta makan."
Nana merasa bodoh dan malu sendiri.
Nana kembali masuk ke teater bioskopnya. Begitu duduk, Dito menawarkan popcornnya.
"Aku sudah makan, itu kan untuk kamu," kata Nana.
Dito tampaknya bersikeras. Ia malah berusaha menyuapi Nana langsung. Meski malu-malu Nana menurut dan membuka mulutnya. Dito begitu mesra memanjakannya. Ia pun menikmati disuapi Dito.
Apa pacaran itu rasanya bisa seindah ini? Apa aku yang lupa rasanya pacaran? pikir Nana. Nana tak peduli, ia hanya ingin menikmati momen ini. Nana memegang lengan Dito. Dito pun menarik Nana untuk bersandar di bahunya.
Setelah film selesai, Nana berjalan keluar sambil melingkarkan tangannya di lengan Dito. Dito tersenyum mengetahui Nana di luar sudah tak malu menunjukkan bahwa mereka berpasangan. Ia pun meremas tangan Nana di lengannya. Dito mengajak Nana pulang. Ia sudah berjanji pada Tante Nia, Mama Nana, akan mengantar Nana pulang. Dito tak mau menimbulkan kesan yang buruk pulang malam.
Di perjalanan mereka mampir ke masjid untuk sholat magrib. Saat kembali ke mobil, Nana menangkap Dito seperti ingin bicara karena merisaukan sesuatu.
"Na... aku tidak bisa setiap hari jemput kamu pergi ke kampus."
"Aku tahu, kok. Jadwal kita ga selalu sama. Kadang kamu masuk pagi, aku siang, atau sebaliknya."
"Tapi... " Dito ragu bicara.
"Aku dilarang naik motor, kah?" tebak Nana.
"Sebenarnya aku bukan melarang. Hanya saja aku masih cemas. Kamu sebelum naik motor pergi ke kampus biasa naik apa?"
"Kadang angkot, kadang ojol. Dulu kadang kalau pagi nebeng Kak Dika, sampai ia pindah kerja ke Jakarta."
"Kalau tidak aku jemput, kamu balik lagi naik angkot atau ojol aja, ya, Sayang. Nanti kapan-kapan aku temani naik motor deh."
"Baiklah. Aku juga ga mau buat kamu cemas."
"Itu bagus. Pacarku pengertian ternyata," komentar Dito sambil mengucek kepala Nana.
Dito tampak lega. Nana tersenyum. Dito ternyata sungguh mencemaskannya. Dan Nana tak ingin membuat pacarnya tak tenang gegara dirinya, atau malah nanti menyusahkannya.
Mereka pun sampai di rumah Nana. Dito pamit pada Mama Nana.
"Tante, maaf. Tadi Nana saya ajak jalan dulu sebelum pulang. Sekarang, saya langsung permisi saja, Tante."
Nana mengantar Dito lagi sampai depan pagar. Ia menanti Dito sampai masuk ke mobil. Mereka saling melambaikan tangan.
Nana masuk ke kamarnya. Ia merebahkan diri di tempat tidurnya sambil tersenyum-senyum. Rasanya masih tak percaya, peristiwa yang mengejutkan dan membahagiakan datang padanya dari pagi sampai malam hari.
"Aku harus menuliskan peristiwa bersejarah ini!"
"Nana! Kamu makan dulu," terdengar suara Mama memanggil Nana.
"Aku kenyang, Ma. Tadi sempat jajan."
Nana tiba-tiba teringat kado dari Dito. Nana mengambil kado itu dari tasnya.
"Dito sungguh well-planned dan romantis. Kado pun ia siapkan. Tetapi, bagaimana coba kalau tadi ia aku tolak."
Ia membuka dan mencicipi coklatnya. Nana merasa sayang jika langsung menghabiskannya. Ia keluar menaruh coklat itu di kulkas.
Nana mulai menguap begitu selesai menceritakan "hari ini mendapatkan namcin" (namja chingu: boy friend) di buku hariannya. Ternyata waktu sudah lewat jam 10 malam. Hp Nana berbunyi, ada notifikasi masuk. Dari Dito. Nana pun tersenyum. Tertulis, "Selamat tidur, Sayang." ditambah emoticon hati dan ciuman.
Nana tersenyum, ia pun membalas.
"Selamat tidur, juga. Sweet Dream" plus plus emoticon hati.
_____
(Bersambung...)
Sebelumnya
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda